Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas,
keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita
menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat.
Cinta mampu melunakkan besi, menghancurkan batu,membangkitkan
yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin.
Begitu
hebatnya kuasa cinta…sungguh dahsyat!
Cinta
adalah satu kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Apatah lagi dalam
kalangan remaja, kerana sudah menjadi anggapan umum bahawa cinta sering dihiasi
dengan ungkapan rasa sepasang sejoli yang dimabukkan asmara.
Ada
yang mengatakan cinta itu suci,
cinta itu agung,
cinta
itu indah dan keindahannya tak dapat diungkapkan dengan kata-kata, hanya mampu
dirasai.
Bahkan ada yang menggambarkan keindahan cinta,
setan pun berubah menjadi bidadari. Yang jelas kerana cinta, banyak orang yang
merasa bahagia namun sebaliknya kerana cinta banyak pula orang yang dibuat
tersiksa dan merana.
Cinta
dapat membuat seseorang menjadi sangat mulia, dan cinta pula yang menjadikan
seseorang menjadi sangat tercela.
SABAR
DAHULU…sahabatku…
Ayuhlah
kita terlebih dahulu menghayati pandangan islam tentang CINTA!
Pertamanya, perlulah kita ketahui bahawa Islam
adalah agama fitrah, sedang cinta itu sendiri adalah fitrah kemanusiaan. Allah
telah menanamkan perasaan cinta yang tumbuh subur di hati manusia. Islam tidak
pula melarang seseorang untuk dicintai dan mencintai, bahkan Rasulullan
menganjurkan agar cinta tersebut diutarakan.
“Apabila seseorang mencintai saudaranya
maka hendaklah ia memberitahu bahwa ia mencintainya.” (HR Abu Daud dan
At-Tirmidzy).
Seorang
muslim dan muslimah tidak dilarang untuk saling mencintai, bahkan dianjurkan
agar mendapat keutamaan-keutamaan. Islam tidak membelenggu cinta, karena itu
Islam menyediakan penyaluran untuk itu (contohnya pernikahan) dimana sepasang suami isteri diberikan kebebasan
untuk bercinta. Ana ulangi kembali SUAMI ISTERI. SUAMI ISTERI.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya,
Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta
dan kasih sayang,…”(Ar-Ruum: 21)
Ayat
di atas merupakan jaminan bahwa cinta dan kasih sayang akan Allah tumbuhkan
dalam hati pasangan yang bersatu karena Allah (setelah bernikah). Jadi tak
perlu menunggu “jatuh cinta dulu” baru berani untuk menikah, atau pacaran dulu
baru menikah sehingga yang menyatukan adalah si syaitan durjana (na’udzubillahi
min zalik). Jadi Islam jelas memberikan batasan-batasan, sehingga nantinya
tidak timbul fenomena kerosakan pergaulan di masyarakat.
TETAPI
yang menjadi kelaziman muda-mudi ini sekarang berbeza dari fitrah yang Allah
jadikan! Bertentangan dengan kehendak syarak. Islam telah hadir untuk
mengangkat taraf manusia dari yang hina di zaman jahiliah kepada peringkat
kemuliaan yang melebihi para makhlukNYA yang lain. Namun, masih…masih lagi
ingin meletakkan diri ke arah kehinaan. Kenapa begitu ya?
Bercinta,
berpegangan tangan, berpeluk-pelukan, bermanja-manjaan, berdua-duan dan apa-apa
ber lah…kenapa?kenapa?dan kenapa?
Di manakah kewarasan hati dan timbangan
iman? Lupakah kamu tentang azab Allah yang AMAT PEDIH itu? Atau pun kamu semua
sememangnya cukup kebal untuk berada di neraka Allah?
Almaklumlah,
sumpah janji setia telah terpatri “ lautan api sanggup kurenangi..” (usahkan
lautan api, lautan biasa pun tenggelam timbul..ada hati…)
Ingatlah sahabat ikhwan dan akhawat…
Menurut
pandangan Syaikh Ibnul Qayyim, seorang ulama di abad ke-7, ada enam peringkat
cinta (maratibul-mahabah), iaitu:
Peringkat ke-1 dan yang paling
tinggi/paling agung adalah tatayyum, yang merupakan hak Allah semata-mata.
“Sesungguhnya solatku, ibadahku, hidupku
dan matiku hanya untuk Rabbul ‘alamiin.”
“Dan orang-orang yang beriman amat sangat
cintanya kepada Allah (S.2: 165)
Jadi ungkapan-ungkapan seperti: “Kau
selalu di hatiku, bersemi di dalam qalbu” atau “Kusebutkan namamu di setiap
dengupan jantungku,” “Cintaku hanya untukmu,” adalah selayak-layaknnya
ditujukan kepada Allah. Kerana Dialah yang memberikan kita segala
nikmat/kebaikan sejak kita dilahirkan, bahkan sejak dalam rahim ibu… Jangan
terbalik, baru dikasih secuil cinta dan kenikmatan sama si ‘dia’ kita sudah mau
menyerahkan jiwa raga kepadanya yang merupakan hak Allah. Lupa kepada Pemberi
Nikmat, “Maka nikmat apa saja yang ada pada kalian, maka itu semua dari Allah
(S. 2: 165).
Justeru itu, ayuhla kita! Ayuhlah kita!
Saling
mencintai karena Allah agar mampu mendapatkan kecintaan Allah. Dalam hadits
Qudsi Allah berfirman:
“Cinta-Ku
harus Ku-berikan kepada orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, Cinta-Ku
harus Ku-berikan kepada orang-orang yang saling berkorban karena-Ku, dan
Cinta-Ku harus Ku-berikan kepada orang-orang yang menyambung hubungan
karena-Ku.”
Akhirulkalam, Hiduplah di bawah naungan
cinta dan saling mencintailah karena keagungan-Nya, niscaya akan mendapatkan
naungan Allah, yang pada hari itu tidak ada naungan selain naungan-Nya. Dari
Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:
“Pada
hari kiamat Allah berfirman: ‘Dimanakah orang-orang yang saling mencintai
karena keagungan-Ku? Pada hari yang tiada naungan selain naungan-Ku ini, Aku
menaungi mereka dengan naungan-Ku.” (HR. Muslim).
Jadilah
kita pasangan yang telah bersatu karena Allah, saling mencintai kerana Allah,
bahkan telah bercinta kerana Allah, namun mereka juga rela berpisah kerana
Allah. Cinta kepada Allah di atas segalanya. Bagaimana halnya dengan pasangan
yang terlanjur jatuh cinta, atau yang ‘berpacaran’ atau sudah bercinta sebelum
menikah? Hanya ada dua jalan; bersegeralah menikah atau berpisah kerana Allah,
nescaya akan terasa lazat dan manisnya iman. Dan janganlah mencintai ‘si dia’
lebih dari pada cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
“Ya Allah, kurniakanlah kepada kami Cinta
terhadap-Mu dan Cinta kepada mereka yang mencintai-Mu, dan apa saja yang
mendekatkan kami kepada Cinta-Mu, dan jadikanlah Cinta-Mu itu lebih berharga
bagi kami daripada air yang sejuk bagi orang yang dahaga.”
“salam ukhuwwah, sekencang dakwah”
Dariku…permatabiru